Teras Cihampelas: Antara Estetika Gagal dan Beban Kota
Setelah jadi topik hangat usai Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menantang Wali Kota Bandung untuk berani membongkar Teras Cihampelas, kini suara dari kalangan akademisi ikut menyuarakan kritik.
Pengamat tata kota dari ITB, Frans Ari Prasetyo, menyebut Teras Cihampelas bukan hanya gagal fungsi, tapi juga cacat secara tata ruang dan birokrasi.
Bangunan yang dulunya diharapkan jadi ikon kota, destinasi wisata baru, dan solusi bagi PKL itu ternyata tidak pernah benar-benar mencapai tujuannya.
Alih-alih mempercantik wajah Bandung, skywalk sepanjang 500 meter itu justru dianggap membuat jalan makin sempit, macet, dan bau haseum.
Baca Juga Tentang : Tantangan Gubernur Jabar: Pak Wali, Berani Rapihin Cihampelas?
Harapan yang Tidak Pernah Tercapai
Frans menjelaskan bahwa tujuan awal Teras Cihampelas adalah memindahkan sekitar 200 PKL ke atas skywalk. Tapi dalam hitungan bulan, para PKL kembali turun ke bawah.
Kemacetan tetap terjadi, pejalan kaki ogah naik, dan ekonomi kawasan pun tak terdongkrak seperti yang dijanjikan.
“Secara fungsional, Teras Cihampelas itu tidak efektif. Tidak bisa dimanfaatkan untuk mobilitas harian. Bahkan secara desain keliru. Skywalk itu seharusnya menghubungkan bangunan ke bangunan, bukan berdiri sejajar dengan jalan raya,” ujar Frans.
Menurutnya, konsep skywalk di Cihampelas gagal dari sisi kegunaan dan tidak memberikan pengalaman yang berarti bagi warga maupun wisatawan.
Cihampelas yang Kehilangan Identitas
Frans menilai keberadaan Teras Cihampelas justru menghilangkan identitas kawasan yang dulu dikenal sebagai pusat jeans Kota Bandung.
Sebagai perbandingan, ia menyebut Jalan Malioboro di Yogyakarta dan Orchard Road di Singapura sebagai contoh bagaimana konsep street shopping bisa tetap hidup tanpa pembangunan infrastruktur yang merusak karakter kawasan.
Alih-alih memberikan Pendapatan Asli Daerah, Teras Cihampelas justru menjadi beban anggaran karena tingginya biaya perawatan.
Dengan struktur yang didominasi material besi, bangunan ini rentan karat dan depresiasi nilai aset dinilai tidak bisa dihindari.
Bongkar Aja? Kenapa Tidak
Frans mengusulkan pembongkaran sebagai opsi realistis.
Ia bahkan menyarankan agar satu tiang skywalk dibiarkan berdiri sebagai monumen kekeliruan tata kota.
Menurutnya, banyak kota maju yang berani mengakui dan membenahi kesalahan tata ruang, seperti Seoul yang membongkar jalan layang untuk menghidupkan kembali Sungai Cheonggyecheon.
“Kalau berani membangun, harus berani mengaku salah. Kota besar itu berani meratifikasi kesalahannya,” tegas Frans.
Voks Take: Waktunya Bandung Jujur Pada Dirinya Sendiri
Kota itu seperti organisme hidup. Ia tumbuh, berevolusi, dan kadang mengambil jalan yang salah. Tapi pertanyaannya, beranikah kita mengoreksi?
Teras Cihampelas mungkin dibangun dengan niat baik. Tapi jika hari ini justru jadi beban, mengganggu lalu lintas, dan mengaburkan wajah khas Cihampelas, maka tidak ada salahnya meninjau ulang.
Kalau Wali Kota Bandung memang berani seperti yang diyakini Dedi Mulyadi, ini saatnya membuktikan. Bukan soal mempertahankan warisan, tapi soal membenahi kesalahan tata kota secara jujur dan terbuka.