Tekanan dari Likes, Komentar, dan Repost: Bagaimana Media Sosial Memengaruhi Emosi Remaja?
Halo Teman Voks, di era ketika semua hal bisa dinilai dari seberapa banyak orang menekan tombol suka, berkomentar, atau me-repost, media sosial telah berubah menjadi ruang yang penuh tekanan bagi banyak remaja. Psikolog Vera Itabiliana menjelaskan bagaimana tiga fitur umum ini dapat menjadi sumber validasi sekaligus beban emosional yang cukup berat.
Ketika Validasi Datang dari Angka
Menurut Vera, fitur likes, komentar, dan repost tidak lagi dilihat sekadar sebagai interaksi digital. Di mata sebagian remaja, angka-angka ini menjelma menjadi indikator penerimaan sosial.
“Likes dianggap sebagai ukuran diterima atau tidaknya mereka. Komentar menjadi bentuk penilaian sosial yang sangat penting, dan repost dianggap sebagai pengakuan terhadap eksistensi,” jelasnya.
Dalam beberapa kasus, fluktuasi jumlah likes saja bisa mengubah suasana hati seorang remaja sepanjang hari. Tidak sedikit yang memilih menghapus unggahan hanya karena interaksinya dianggap “kurang bagus”. Di sinilah media sosial mulai menjadi ruang berisiko, bukan sekadar tempat berbagi momen.
Tekanan Psikologis: FOMO, Perbandingan Sosial, dan Perundungan
Selain tekanan dari angka, media sosial juga memicu fenomena lain yang tak kalah kuat: FOMO atau Fear of Missing Out. Ketakutan tertinggal tren atau informasi baru membuat remaja merasa harus terus online.
“Remaja bisa terdorong untuk membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain yang terlihat sempurna di media sosial,” ujar Vera. Tekanan untuk tampil sempurna mencangkup banyak aspek, mulai dari body image, prestasi, hingga gaya hidup.
Situasi ini juga membuka celah perundungan. Komentar jahat atau sindiran bisa memengaruhi kondisi emosional seseorang, terutama remaja yang masih dalam proses membangun konsep diri.
Screen Time Berlebih dan Dampaknya pada Kesehatan Mental
Salah satu konsekuensi dari terus-menerus berada di dunia maya adalah gangguan tidur. Vera menyebut bahwa screen time berlebih berdampak langsung pada peningkatan risiko depresi dan kecemasan.
Ketika remaja merasa “harus selalu online”, waktu istirahat pun terpotong. Kebiasaan menggulir layar sebelum tidur, misalnya, bisa mengganggu ritme alami tubuh. Beberapa penelitian bahkan menyebut cahaya dari layar gawai dapat menurunkan kualitas tidur secara drastis.
Ketika tidur terganggu, stres dan kecemasan pun lebih mudah muncul. Ini membuat masalah kesehatan mental semakin kompleks.
Perlu Pendampingan: Media Sosial sebagai Ruang Positif
Meski media sosial membawa risiko, Vera menekankan bahwa platform digital tidak selalu menjadi ruang negatif. Dengan pendampingan yang tepat, remaja bisa memanfaatkannya sebagai ruang berekspresi, belajar, dan membangun koneksi sosial yang sehat.
Penting untuk membantu remaja memahami bahwa nilai diri mereka tidak ditentukan oleh jumlah likes atau komentar. Literasi digital juga menjadi kunci agar mereka lebih bijak dalam menilai konten, mengelola emosi, dan memahami batasan dalam bermedia sosial.
Membangun Lingkar Pertemanan yang Suportif
Salah satu hal yang disarankan Vera adalah menciptakan lingkar pertemanan yang suportif. Dukungan dari teman seusia dapat membantu remaja melewati tekanan yang muncul dari dunia maya.
Pembatasan juga penting, terutama pada jam-jam sensitif seperti sebelum tidur. Dengan menurunkan intensitas penggunaan gawai, kualitas tidur dan kesehatan mental dapat perlahan membaik.
Ketika Perlu, Bantuan Profesional adalah Jawaban
Vera mengingatkan bahwa jika penggunaan media sosial sudah memengaruhi fungsi harian remaja, bantuan profesional seperti terapi atau konseling sebaiknya segera dilakukan. Kesadaran keluarga dan lingkungan sekitar juga memegang peran penting dalam menjaga kesejahteraan mental mereka.
Media sosial bisa menjadi tempat yang menyenangkan, tetapi juga penuh tekanan. Dengan pendampingan, literasi digital, dan batasan yang tepat, remaja bisa tumbuh sebagai pengguna yang lebih sehat secara emosional. Sebab, pada akhirnya, nilai diri tidak pernah ditentukan oleh angka di layar.