Tanah Bergerak, Warga Pasirmunjul Harus Bergerak Juga — Langit mendung belum juga bubar dari atas Kampung Pasirmunjul, Desa Sukatani. Hujan boleh reda, tapi luka yang tertinggal masih basah. Tanah yang semula diam, kini jadi ancaman. Bukan cuma retak, tapi geser pelan-pelan menyeret rumah, kenangan, dan harapan satu kampung penuh.
Bencana pergerakan tanah yang menerjang Pasirmunjul resmi membuat Pemerintah Kabupaten Purwakarta menetapkan status tanggap darurat bencana geologi.
Satu RW, satu kampung penuh telah terdampak. Puluhan rumah rusak. Beberapa sudah tak berbentuk. Sebanyak 78 rumah terdata mengalami kerusakan dari ringan hingga ambruk. Sebanyak 249 jiwa, dari 81 kepala keluarga, kehilangan atap untuk berteduh.
Mereka kini tersebar di berbagai tempat pengungsian: ada yang tinggal di balai desa, ada yang menggelar kasur darurat di GOR, sebagian lainnya menumpang di rumah tetangga atau keluarga.
Tanah Tak Lagi Diam
Menurut ahli geologi dan tim BPBD yang turun ke lapangan, struktur tanah di Pasirmunjul memang punya “bom waktu” sendiri. Lapisan tanah di sana terdiri dari material vulkanik tua yang di bawahnya terdapat lapisan licin dan kedap air. Saat hujan mengguyur, lapisan bawah itu bergeser. Dan begitu lapisan bawahnya bergeser, semuanya ikut ambruk.
“Tanah itu kemungkinan besar akan terus bergerak. Satu RT itu kita putuskan untuk direlokasi,” ujar Bupati Purwakarta, Saipul Bahri, dalam wawancara dengan Metro TV, Selasa (17/6/2025).
Meski kini gerak tanah mulai melambat, ancaman masih terasa. Retakan belum menutup, trauma belum sembuh. Potensi longsor susulan tetap tinggi. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan relokasi sebagai satu-satunya jalan keluar.
Relokasi: Jalan Panjang Menuju Aman
Pemkab Purwakarta kini sedang menyiapkan proses relokasi. Bukan cuma soal teknis pindahan, tapi juga memastikan bahwa warga gak tercerabut dari akarnya. Beberapa lokasi alternatif sudah dikaji mulai dari lahan milik pemda sampai tanah milik PTPN yang letaknya tak terlalu jauh dari kampung lama.
“Hari ini kami mulai bersurat ke PTPN. Kita sedang kaji mana lokasi yang paling tepat dan tidak terlalu jauh dari sumber penghidupan warga,” ujar Saipul.
Proses ini jelas gak mudah. Pindah rumah beda sama pindah hati. Warga gak cuma butuh tempat baru, tapi juga rasa aman, komunitas yang utuh, dan akses ke pekerjaan serta sekolah. Dan itu, harus dipastikan bisa mereka dapatkan juga di tempat baru nanti.
Logistik Dulu, Pemulihan Nanti
Sambil menunggu kepastian lokasi relokasi, warga yang terdampak tetap mendapat suplai kebutuhan pokok. Pemerintah daerah sudah bergerak cepat mulai dari sembako, alat mandi, baju bersih, hingga layanan kesehatan darurat.
“Sejak awal kejadian, kami sudah suplai kebutuhan pokok, mulai dari alat mandi, sembako, hingga pakaian. Fokus utama kami saat ini adalah memastikan keselamatan warga,” tambah Bupati.
Pemda juga tengah berkoordinasi dengan BNPB untuk menyiapkan hunian sementara, sebagai opsi darurat kalau rumah keluarga atau tetangga sudah tak bisa menampung lebih banyak pengungsi.
Pasirmunjul Tak Sendiri
Kampung ini memang sedang diuji. Tapi mereka tidak sendiri. Di tengah tanah yang bergeser, warga tetap saling bantu. Ada ibu-ibu yang tetap masak bareng di pengungsian. Ada bapak-bapak yang gantian jaga malam. Anak-anak masih tertawa walau tidur beralas tikar.
Dan di situ, harapan tetap hidup.
Bencana ini bukan akhir dari segalanya. Tapi jadi awal dari perubahan besar. Pemindahan ini bukan hanya soal pindah tempat, tapi juga membangun kembali lebih kuat, lebih aman, dan lebih manusiawi.
Voks Take: Bandung, Dengarkan Pasirmunjul
Buat kita yang tinggal di kota, mungkin kabar seperti ini cuma lewat di timeline. Tapi bagi warga Pasirmunjul, ini hidup mereka. Rumah yang dibangun bertahun-tahun roboh dalam semalam. Jalan yang dilewati setiap hari retak dan hilang.
Saat tanah bergerak, mereka pun harus bergerak. Bukan karena ingin, tapi karena harus.
Dan sekarang, tugas kita yang lain: mendengar, peduli, dan kalau bisa, bantu.
Pasirmunjul butuh lebih dari sekadar bantuan logistik. Mereka butuh perhatian kita semua dari warga, komunitas, sampai pemerintah pusat untuk memastikan bahwa satu kampung tak lenyap begitu saja.
Karena setiap jengkal tanah yang retak, selalu ada cerita yang masih ingin dilanjutkan.