Psikolog: Interaksi Hangat Bisa Cegah Remaja dari Kecanduan Gawai
Bandung — Teman Voks, siapa di sini yang merasa anak atau adiknya lebih sering menatap layar gawai ketimbang ngobrol langsung? Fenomena ini ternyata jadi perhatian serius para ahli. Psikolog Klinis Kasandra Putranto dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK) memberikan kiat bagi orang tua maupun pengasuh agar bisa menciptakan interaksi hangat dengan remaja supaya tidak terjebak dalam kecanduan gawai.
Orang Tua Harus Jadi Contoh
Menurut Kasandra, langkah pertama yang paling sederhana justru datang dari orang tua. Kalau ingin anak mengurangi penggunaan gawai, orang tua juga harus memberi contoh nyata.
“Remaja perlu melihat langsung bahwa keluarga bisa menikmati waktu bersama tanpa layar. Untuk itu, orang tua perlu menciptakan lingkungan yang mendukung,” kata Kasandra, Rabu (1/10).
Lingkungan mendukung ini bukan berarti menuntut anak untuk langsung bercerita panjang lebar tentang hidupnya. Justru, orang tua perlu memberi ruang agar anak merasa bebas tanpa tekanan ketika belum ingin berbagi.
Komunikasi Empati Tanpa Paksaan
Teman Voks, Kasandra menegaskan pentingnya empati dalam komunikasi dengan remaja. Hal ini juga sejalan dengan panduan UNICEF yang menyebut bahwa kunci komunikasi dengan remaja adalah pendekatan penuh empati, tanpa paksaan.
Kalau anak akhirnya membuka diri, orang tua sebaiknya memberikan perhatian penuh. Dengarkan baik-baik minat maupun masalah yang mereka ceritakan. Dari situ, remaja akan merasa bahwa dunianya benar-benar dihargai.
“Berikan contoh dengan kisah diri dan pengalaman masa muda untuk menciptakan kesamaan dan membuat percakapan lebih santai,” tambah Kasandra.
Bahasa Tubuh dan Pertanyaan Terbuka
Selain kata-kata, bahasa tubuh juga penting. Kasandra mengingatkan agar orang tua selalu menjaga kontak mata, mengangguk, dan tidak sibuk dengan gawai saat anak berbicara. Dengan begitu, remaja akan merasa dihargai dan nyaman untuk terus terbuka.
Dalam percakapan, gunakan pertanyaan terbuka. Misalnya, “Bagaimana perasaanmu tentang kegiatan di sekolah hari ini?” alih-alih bertanya singkat “Hari ini gimana?” Dengan pertanyaan terbuka, remaja bisa mengekspresikan diri dengan lebih bebas.
Apresiasi dan Validasi Emosi
Hal lain yang tak kalah penting, Teman Voks, adalah bagaimana orang tua merespons cerita anak. Kasandra menyarankan agar respons selalu berupa apresiasi, afirmasi, dan validasi. Dengan begitu, remaja akan merasa emosinya dihargai, tidak diremehkan, dan tidak merasa sendirian.
Komunikasi yang hangat ini bisa dilakukan lewat momen sederhana: makan bersama di meja makan, ngobrol santai di ruang keluarga tanpa gawai, atau kegiatan luar rumah seperti piknik.
Aturan Khusus Penggunaan Gawai
Bagaimana jika anak sudah telanjur terbiasa dengan gawai? Kasandra menekankan perlunya aturan khusus. Misalnya, saat makan atau menjelang tidur, gawai harus disimpan. Aturan ini membuat remaja lebih fokus pada momen kebersamaan.
Namun, aturan saja tidak cukup. Orang tua juga harus memberi contoh nyata dengan ikut menyingkirkan gawainya. Jangan sampai anak merasa orang tuanya hanya memerintah tanpa melakukannya sendiri.
“Aturan khusus memang diperlukan, tetapi sebaiknya disertai dengan komunikasi yang hangat serta penguatan positif ketika anak mampu melakukan kegiatan tanpa gadget,” jelas Kasandra.
Data Remaja dan Gawai di Indonesia
Teman Voks, isu ini ternyata cukup serius di Indonesia. Kepala BKKBN Wihaji beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa 34 persen remaja Indonesia merasa kesepian karena terlalu sering menggunakan gawai.
“Dari 68 juta anak usia 10–24 tahun, hampir sepertiganya kesepian karena hidupnya terlalu asyik dengan teknologi. Ada keluarga baru handphone, ketika anak ngobrol dengan orang tua kadang tidak didengarkan,” ujarnya dalam acara Young Health Summit 2025.
VoksTake: Interaksi diperlukan untuk hal ini?
Interaksi hangat dalam keluarga bukan hanya soal ngobrol, Teman Voks. Lebih dari itu, ia adalah cara untuk menunjukkan kepedulian, mendengar tanpa menghakimi, dan membangun kepercayaan antara anak dan orang tua.
Dengan menjadi teladan, membatasi penggunaan gawai di waktu-waktu tertentu, serta menghadirkan percakapan yang empatik, orang tua bisa membantu remaja agar tidak larut dalam dunia digital. Karena pada akhirnya, remaja butuh merasa dekat dengan keluarganya—bukan sekadar dekat dengan layar di tangannya.