Gerakan “No Kings”: Menolak Pemimpin yang Dianggap Bertingkah Seperti Raja
Aksi “No Kings” yang diinisiasi oleh kelompok progresif Indivisible, berlangsung serentak di lebih dari 2.600 kota di 50 negara bagian. Dengan jumlah peserta yang diperkirakan mencapai jutaan orang, demonstrasi ini menjadi salah satu aksi politik terbesar dalam sejarah modern Amerika.
Makna “No Kings” sendiri merujuk pada semangat dasar demokrasi AS: menolak kekuasaan absolut. “Tidak ada yang lebih Amerika selain menyatakan ‘Kami tidak memiliki raja’ dan menggunakan hak kami untuk berdemonstrasi secara damai,” ujar Leah Greenberg, salah satu pendiri Indivisible.
Suasana Damai Penuh Warna
Berbeda dari protes politik yang identik dengan ketegangan, aksi kali ini justru berlangsung dalam suasana meriah.
Banyak peserta datang dengan kostum berwarna merah, putih, dan biru, simbol warna bendera AS. Tak sedikit pula yang membawa balon raksasa bergambar karakter politik, hingga membawa hewan peliharaan dan kereta bayi di tengah arak-arakan.
Di New York City, sekitar 100 ribu orang memenuhi Times Square, sementara di Seattle, massa berjalan lebih dari satu kilometer menuju menara Space Needle. Aksi serupa juga berlangsung di Boston, Philadelphia, Chicago, Atlanta, Denver, San Diego, hingga Los Angeles.
Meskipun masif, nyaris tak ada laporan tindakan anarkis atau penangkapan. Polisi bahkan menjaga jarak, membiarkan massa mengekspresikan diri dengan damai.
Simbol Perlawanan: Dari Patung Liberty hingga Poster “No Wannabe Dictators”
Beragam simbol perlawanan tampak menghiasi jalanan.
Salah satu peserta, Aliston Elliot, datang dengan hiasan kepala berbentuk Patung Liberty dan membawa poster bertuliskan “No Wannabe Dictators” — Tidak Ada Calon Diktator.
“Kami ingin menunjukkan dukungan bagi demokrasi dan menolak penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya seperti dikutip Channel NewsAsia.
Di Houston, Daniel Aboyte Gamez, veteran Korps Marinir berusia 30 tahun, juga turut bergabung.
“Saya tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan negara ini,” katanya, seraya menyebut bahwa nilai-nilai kebebasan yang dulu ia bela kini terasa kabur di bawah kepemimpinan Trump.
Kritik terhadap Pemerintahan Trump
Aksi “No Kings” mencerminkan gelombang keresahan dari kubu progresif terhadap arah pemerintahan Trump setelah kembali menjabat pada Januari lalu.
Sejak saat itu, Trump dikenal agresif dengan berbagai kebijakan keras terhadap imigran dan kelompok minoritas, hingga penuntutan hukum terhadap lawan politiknya. Ia juga mengerahkan Garda Nasional ke sejumlah kota dengan dalih memerangi kejahatan — langkah yang banyak pihak nilai berlebihan.
Respons Trump: Balasan Satir Lewat Video AI
Alih-alih meredam situasi, Trump menanggapi aksi ini dengan unggahan kontroversial di platform Truth Social.
Dalam video berdurasi 19 detik yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI), Trump digambarkan berada di dalam jet tempur dengan mahkota bertuliskan “King Trump”, sambil menjatuhkan benda menyerupai kotoran ke arah para pengunjuk rasa.
Video itu juga menampilkan sosok mirip Harry Sisson, tokoh oposisi sayap kiri, menjadi sasaran. Banyak pihak menilai unggahan ini sebagai bentuk ejekan terhadap warga yang tengah menggunakan hak demokrasinya secara damai.
Reaksi Politik dan Ketegangan yang Tersisa
Ketua DPR AS dari Partai Republik, Mike Johnson, menyebut aksi ini sebagai “demo kebencian terhadap Amerika.”
Sementara beberapa politisi Republik lainnya menuduh penyelenggara aksi memicu potensi kekerasan politik, terutama setelah pembunuhan aktivis sayap kanan dan sekutu Trump, Charlie Kirk, pada bulan September lalu.
Namun bagi jutaan warga yang turun ke jalan, pesan mereka jelas: demokrasi Amerika bukan milik satu orang, apalagi seorang “raja.”
Teman Voks, aksi “No Kings” ini jadi pengingat bahwa suara rakyat masih jadi fondasi utama demokrasi — bahkan ketika dipimpin oleh sosok sekuat Donald Trump.
Seperti yang tertulis di salah satu poster demonstran:
“We the people have no kings — just a voice that won’t be silenced.”
(Kami, rakyat, tidak punya raja — hanya suara yang tak akan dibungkam.)