Fenomena ‘Brain Rot’ Akibat Video Pendek: Bukan Lagi Candaan Internet

Fenomena ‘Brain Rot’ Akibat Video Pendek: Bukan Lagi Candaan Internet

Teman Voks, istilah brain rot belakangan sering muncul di media sosial—biasanya sebagai candaan ketika seseorang terlalu banyak scroll video pendek. Tapi ternyata, fenomena yang awalnya terdengar seperti meme itu kini mulai mendapat perhatian serius dari para peneliti. Bukan sekadar istilah gaul, brain rot kini dikaitkan dengan perubahan nyata pada otak akibat konsumsi konten video pendek secara berlebihan.

Di Amerika Serikat, bahkan sempat terjadi pembatasan aplikasi TikTok pada awal 2025. Banyak pengguna mengaku merasa “hilang arah”, seolah kehilangan rutinitas harian hanya karena tidak bisa menonton video pendek seperti biasa. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya ketergantungan digital yang terbentuk—bahkan melampaui era kecanduan Facebook dulu.

Short Video Addiction: Ketika Scroll Jadi Tak Terkendali

Tim peneliti dari Tianjin Normal University, dipimpin oleh Qiang Wang, mendeskripsikan kecanduan video pendek atau short video addiction (SVA) sebagai penggunaan platform seperti TikTok secara kompulsif, berlebihan, dan sulit dihentikan meski sudah mengganggu aktivitas sehari-hari.

Teman Voks, kondisi ini bukan sekadar bikin kita lupa waktu. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal NeuroImage menemukan bahwa SVA berkaitan dengan gangguan tidur, kelelahan mata, nyeri leher, serta penurunan fungsi kognitif—mulai dari perhatian, memori, hingga kemampuan belajar. Dan bukan cuma fisik, tapi juga emosional: stres, cemas, dan depresi menjadi efek samping yang cukup sering muncul.

Dengan kata lain, video berdurasi 15–30 detik yang terasa ringan dan menghibur itu bisa punya dampak panjang pada kesehatan mental jika dikonsumsi tanpa batas.

Perubahan Nyata pada Struktur dan Fungsi Otak

Untuk memahami apa yang benar-benar terjadi di dalam kepala kita, peneliti merekrut lebih dari 100 peserta yang tidak memiliki riwayat gangguan saraf atau kejiwaan. Peserta menjalani pemindaian MRI saat istirahat dan mengisi survei tentang kebiasaan menonton video pendek serta kesehatan mental mereka.

Hasilnya cukup mengejutkan, Teman Voks.

Mereka yang menunjukkan tanda-tanda SVA ternyata memiliki peningkatan volume materi abu-abu (GMV) di beberapa bagian otak, terutama di korteks orbitofrontal (OFC) dan serebelum. Area ini berkaitan dengan pemrosesan imbalan—atau rasa “reward” yang kita dapat setiap kali melihat video yang menarik atau lucu.

Artinya, semakin sering kita terpapar video yang dipersonalisasi, semakin sensitif otak terhadap kepuasan instan. Ini membuat otak mencari “hadiah” berikutnya terus-menerus, persis seperti pola adiktif lainnya.

Tak hanya itu, aktivitas spontan otak juga meningkat di area lain seperti korteks prefrontal dorsolateral, korteks cingulate posterior, serebrum, dan kutub temporal—semuanya terkait dengan kontrol diri dan pemrosesan kepuasan. Jika area-area ini terlalu aktif pada pola tertentu, kemampuan kita untuk menahan diri bisa melemah seiring waktu.

Scroll satu jam mungkin terasa ringan, Teman Voks. Tapi otak kita membaca sesuatu yang jauh lebih kompleks.

Faktor Kepribadian: Iri Hati Bisa Menjadi Pemicu

Penelitian ini juga mengungkapkan satu faktor menarik: sifat mudah iri atau mudah membandingkan diri dengan orang lain ternyata berkorelasi dengan tingkat kecanduan video pendek. Temuan ini dikutip dari laporan radiology business yang menilai bahwa individu dengan kecenderungan envy lebih rentan memakai platform video pendek secara kompulsif.

Teman Voks pasti tahu bagaimana algoritma bekerja: video yang muncul sering menampilkan kehidupan orang lain yang terlihat lebih menarik, lebih glamor, atau lebih sukses. Hal ini bisa menjadi pemicu emosional bagi mereka yang sensitif terhadap perbandingan sosial.

Dan kelompok paling rentan? Remaja.

Otak remaja masih berkembang dan sangat mudah dipengaruhi oleh sistem reward. Karena itu, konsumsi video pendek tanpa kontrol bisa memberi dampak yang lebih besar pada perkembangan kognitif dan emosional mereka.

Belum Final, Tapi Peringatannya Jelas

Meski temuan ini menguatkan kekhawatiran tentang efek video pendek pada otak, peneliti mengingatkan bahwa studi ini bersifat cross-sectional. Artinya, MRI dilakukan hanya satu kali, tanpa membandingkan perubahan sebelum dan sesudah peserta mengonsumsi video pendek.

Dengan demikian, masih belum bisa dipastikan apakah kecanduan yang menyebabkan perubahan otak, atau orang yang sudah memiliki struktur otak tertentu memang lebih mudah kecanduan.

Namun, satu hal cukup jelas: konsumsi video pendek yang berlebihan bukan hal remeh. Ada risiko nyata terhadap fungsi otak, regulasi emosi, dan perilaku jangka panjang.

Jadi, Harus Bagaimana, Teman Voks?

Bukan berarti Teman Voks harus menghapus semua aplikasi. Tapi kebiasaan digital tetap perlu dikendalikan. Mulai dari membatasi durasi menonton, memilih konten yang sehat, hingga memberi waktu bagi otak untuk “bernapas” dari stimulasi cepat.

Mengingat cara kerja otak yang selalu mencari kepuasan cepat, rutinitas scroll yang tak terkontrol bisa menjadi lingkaran yang sulit diputuskan bila dibiarkan.

Fenomena brain rot ini mengingatkan kita bahwa di balik hiburan ringan ada konsekuensi yang serius—dan bahwa kesehatan otak sama pentingnya dengan kesehatan tubuh.

#VOKS UPDATE

#STREAMING

VOKS Radio
Memuat lagu...
Volume: 100%
🔄 Buffering...

#GET NOW

#VOKS UPDATE

MedsosPenggunaanAnadolu
Tekanan dari Likes, Komentar, dan Repost: Bagaimana Media Sosial Memengaruhi Emosi Remaja?
RAM_5239-copy
Erick Thohir Bahas Bonus Atlet dan Evaluasi Besar SEA Games Thailand
215198
Gempa 6,7 Guncang Aomori, Jepang Kembali Keluarkan Peringatan Tsunami
4a199dd2-6a8d-47de-85d9-14e7b9753467
UPI Bebaskan UKT hingga Lulus untuk Olivia: Dukungan Humanis bagi Mahasiswa Korban Bencana
2b01a5db-e5ec-4e0e-8c61-84e91c116b77
Jennifer Lawrence & Josh Hutcherson Kembali ke Arena: “Sunrise on the Reaping” Siap Panaskan Hunger Games Lagi

#ADVERTISE