Cegah Bullying Sejak Dini, Psikolog Kasandra Putranto Ingatkan Orang Tua untuk Tumbuhkan Empati Anak
Teman Voks, kasus perundungan kembali jadi sorotan publik setelah tragedi di Universitas Udayana, Bali. Seorang mahasiswa berinisial TAS (22) meninggal dunia, dan enam rekan kampusnya diberhentikan secara tidak hormat setelah dinilai melakukan olok-olok nir-empati di media sosial. Kasus ini memunculkan pertanyaan besar—apa yang sebenarnya bisa dilakukan agar generasi muda tumbuh dengan empati yang kuat dan tidak mudah menyakiti orang lain?
Psikolog Klinis Forensik Kasandra Putranto, yang juga anggota Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), membagikan pandangannya soal hal ini. Menurutnya, empati tidak tumbuh begitu saja, tapi harus ditanamkan sejak dini—dimulai dari lingkungan terdekat anak, yaitu keluarga.
Orang Tua Jadi Cermin Pertama
Kasandra menekankan bahwa anak belajar dengan meniru. Maka, orang tua perlu menjadi model empati dalam keseharian—mulai dari cara berbicara, bersikap, hingga memperlakukan orang lain.
“Anak belajar dari cara orang tua memperlakukan orang lain, termasuk asisten rumah tangga, pedagang, atau bahkan orang yang berbeda pendapat. Ketika orang tua sabar dan menunjukkan empatik, anak lebih mudah meniru pola itu,” jelas Kasandra kepada ANTARA, Senin (20/10).
Dengan begitu, anak akan memahami sejak kecil bahwa kekerasan tidak bisa diterima dan punya konsekuensi yang tegas. Ketika nilai ini sudah tertanam, mereka akan lebih berhati-hati dalam ucapan maupun tindakan saat tumbuh dewasa.
Biasakan Anak Memahami Perasaan Orang Lain
Langkah berikutnya adalah membiasakan anak memahami dan merasakan emosi orang lain.
Kasandra menyarankan agar orang tua aktif berdialog dengan anak melalui pertanyaan reflektif sederhana, seperti:
“Menurutmu, kalau kamu jadi dia, gimana rasanya?”
Pertanyaan seperti ini membantu anak mengembangkan perspektif emosional, memahami konteks sosial, dan belajar menempatkan diri sebelum bereaksi.
“Diskusi dengan tipe pertanyaan reflektif membuat anak belajar berempati dan tidak bertindak semena-mena di lingkungan sosial,” tambahnya.
Batasi Paparan Konten Kekerasan di Media Sosial
Di era digital, empati anak juga bisa terkikis oleh paparan media. Dunia dalam layar, kata Kasandra, sering kali membuat jarak emosional antar manusia jadi kabur. Ketika anak terbiasa menonton atau membaca konten penuh kekerasan atau ejekan, ia bisa kehilangan sensitivitas terhadap penderitaan orang lain.
Solusinya bukan hanya melarang, tapi mendampingi dan berdiskusi.
“Orang tua perlu mengajak anak-anak menganalisis isi media bersama, bukan hanya melarang,” ujar Kasandra.
Dengan cara ini, anak bisa belajar membedakan antara perilaku yang wajar dan tidak pantas, serta memahami konsekuensi dari tindakan di dunia maya maupun nyata.
Dari Rumah ke Lingkungan Sosial
Empati adalah fondasi penting agar anak tidak tumbuh menjadi pelaku perundungan. Saat anak sudah terbiasa memahami perasaan orang lain di rumah, mereka akan lebih siap berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas tanpa menyakiti orang lain—baik secara verbal, fisik, maupun digital.
Kasus TAS di Universitas Udayana menjadi pengingat nyata bahwa kurangnya empati bisa berujung fatal. Perundungan, sekecil apa pun bentuknya, bukan sekadar “candaan”, tapi bisa meninggalkan luka mendalam bahkan merenggut nyawa seseorang.