Reforma Agraria di Era Prabowo-Gibran: Pekerjaan Rumah yang Belum Tuntas

Reforma Agraria di Era Prabowo-Gibran: Pekerjaan Rumah yang Belum Tuntas

Bandung — Menjelang setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, momentum Hari Tani Nasional (HTN) 24 September jadi momen refleksi besar. Salah satu isu yang kembali jadi sorotan adalah Reforma Agraria—sebuah agenda fundamental untuk mengurangi ketimpangan lahan, menyelesaikan konflik agraria, sekaligus mendorong kesejahteraan petani.

Namun, Teman Voks, implementasi di lapangan masih penuh tantangan. Agenda yang seharusnya jadi jantung pembangunan pedesaan ini belum benar-benar menjawab persoalan mendasar petani dan masyarakat desa.

 

Dari Sertifikat Tanah hingga Redistribusi yang Substantif

Kita masih ingat di era sebelumnya, Presiden kerap hadir langsung membagikan sertifikat tanah. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, sepanjang 2015–2023, ada 10,3 juta sertifikat yang dibagikan lewat program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Langkah ini memang menuai kritik karena dianggap lebih menekankan legalisasi aset ketimbang redistribusi tanah yang sesungguhnya. Meski begitu, setidaknya ada simbol kuat kehadiran negara dalam isu agraria. Pertanyaannya kini, apakah simbol itu bisa ditingkatkan menjadi transformasi nyata?

 

Tantangan Ganda: Deindustrialisasi dan Deagrarianisasi

Pelaksanaan reforma agraria makin mendesak karena Indonesia tengah menghadapi dua tantangan besar sekaligus: deindustrialisasi dini dan deagrarianisasi.

  • Deindustrialisasi dini terlihat dari kontribusi industri terhadap PDB yang anjlok, dari puncak 32 persen pada 2002 menjadi hanya 18,7 persen di awal 2024. Penyerapan tenaga kerja di sektor industri pun stagnan, hanya naik rata-rata 1,2 persen per tahun.
  • Deagrarianisasi ditandai oleh tiga hal: ketergantungan tinggi pada impor pangan (senilai 28,5 miliar dolar AS di 2023), dominasi petani gurem (56 persen petani menguasai lahan di bawah 0,5 hektare), serta minimnya regenerasi petani muda (hanya 27 persen petani berusia di bawah 35 tahun).

Kedua masalah ini jadi alarm keras bagi ketahanan ekonomi nasional.

 

Baca juga: Pemkot Bandung Hapus Denda PBB Tahun 2024 ke Bawah, Berlaku Hingga Akhir 2025

 

Hilirisasi yang Belum Menyentuh Petani

Pemerintah mencoba menjawab deindustrialisasi lewat hilirisasi sumber daya alam—dari minerba hingga perkebunan. Data Kementerian ESDM mencatat, pada 2023, investasi hilirisasi minerba mencapai 15,3 miliar dolar AS.

Sayangnya, program besar ini belum berbanding lurus dengan peningkatan kepemilikan rakyat atas usaha dan lahan di sekitarnya. Bahkan, alih-alih menyelesaikan masalah, model hilirisasi justru kerap melahirkan konflik agraria baru dan meninggalkan jejak kerusakan lingkungan.

 

Food Estate dan Bayangan Lama

Di sisi lain, masalah deagrarianisasi dijawab lewat program food estate. Kementerian ATR/BPN mencatat ada sekitar 1,2 juta hektare lahan yang dialokasikan untuk proyek ini di beberapa wilayah seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua.

Namun, pendekatan skala besar ini dinilai lebih memberi ruang pada korporasi ketimbang petani kecil atau masyarakat adat. Evaluasi FIAN Indonesia di Kalimantan Tengah misalnya, menunjukkan produktivitas padi di food estate hanya 3,2 ton per hektare, jauh di bawah target 5 ton.

 

Jalan Perbaikan: Dari Food Estate ke Koperasi Petani

Teman Voks, meski penuh masalah, peluang perbaikan masih terbuka lebar. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:

  1. Reset total food estate → Alihkan dari model korporasi-sentris ke koperasi petani-sentris, sehingga lahan dikelola masyarakat sekitar lewat redistribusi tanah dan pengakuan hak komunitas.
  2. Integrasi dengan pengentasan kemiskinan → Data BPS mencatat, kemiskinan ekstrem di desa masih 4,2 persen per Maret 2024. Redistribusi aset harus terhubung dengan program BUMDes dan koperasi rakyat.
  3. Redistribusi lahan terlantar dan penertiban kawasan hutan → Ada 1,4 juta hektare lahan terlantar dan 3,1 juta hektare lahan perkebunan ilegal dalam kawasan hutan. Aset ini seharusnya bisa jadi modal rakyat dengan pola kemitraan koperasi petani.
  4. Pembangunan infrastruktur pertanian → Akses irigasi, jalan tani, dan fasilitas penyimpanan hasil panen terbukti mendongkrak produktivitas. Saat ini baru 45 persen lahan yang punya akses irigasi memadai.
  5. Penguatan kelembagaan petani → Petani yang tergabung dalam organisasi kuat punya daya tawar lebih baik, sekaligus akses ke teknologi, pelatihan, dan pendidikan.

 

Trilogi Pembangunan: Agraria, Industri, dan Pangan

Reforma agraria, re-industrialisasi, dan pembangunan pangan bukan tiga jalur terpisah, melainkan trilogi kebijakan yang harus saling menopang. Reforma agraria jadi fondasi dengan redistribusi lahan. Food estate yang dirombak berbasis petani jadi strategi untuk membangun kedaulatan pangan. Dan re-industrialisasi jadi mesin pencipta nilai tambah di pedesaan.

Jika ketiganya diformulasikan dalam kebijakan yang koheren, Indonesia bukan hanya bisa mengatasi deindustrialisasi dan deagrarianisasi secara simultan, tapi juga membangun fondasi ekonomi nasional yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

 

Source: AntaraNews

#VOKS UPDATE

#STREAMING

VOKS Radio
Memuat lagu...
Volume: 100%
🔄 Buffering...

#GET NOW

#VOKS UPDATE

rumah-sekolah
Psikolog: Interaksi Hangat Bisa Cegah Remaja dari Kecanduan Gawai
IMG_9593_1
Persib Bandung Siap Tempur Hadapi Bangkok United di ACL II
pencaksilat
Asian Youth Games 2025 Tambah Dua Cabor: Pencak Silat dan Kurash
minyak-herbal-kutus-kutus-yang-kini-bertransformasi-menjadi-fadc
Dari Kutus Kutus ke Sanga Sanga: Transformasi Hadapi Pemalsuan Produk
IMG_0052-3571878041
Bandung Barat Darurat KLB Usai Ratusan Siswa Keracunan MBG

#ADVERTISE