Pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam membangun generasi muda yang berkualitas. Namun, belakangan ini, praktik-praktik di dunia pendidikan kerap menuai pro dan kontra, terutama terkait kegiatan study tour dan penjualan buku di sekolah. Menanggapi hal ini, Dedi Mulyadi, seorang tokoh masyarakat dan mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, mengeluarkan larangan terhadap sekolah-sekolah di Jawa Barat untuk mengadakan study tour dan menjual buku kepada siswa. Kebijakan ini menuai berbagai reaksi dari masyarakat, terutama para orang tua dan praktisi pendidikan.
Study tour atau kunjungan studi sering dianggap sebagai kegiatan yang mendidik karena memberikan pengalaman langsung kepada siswa di luar kelas. Namun, Dedi Mulyadi menilai bahwa kegiatan ini sering kali tidak efektif dan justru membebani orang tua. Menurutnya, banyak study tour yang lebih bersifat rekreasi daripada edukasi, sehingga tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi pembelajaran siswa.
“Study tour sering kali hanya menjadi ajang jalan-jalan, sementara tujuan utamanya, yaitu pembelajaran, justru terabaikan. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini tidak sedikit, dan ini menjadi beban tambahan bagi orang tua,” ujar Dedi Mulyadi.
Larangan ini diharapkan dapat memfokuskan kembali kegiatan pembelajaran di sekolah pada hal-hal yang lebih substantif dan tidak memberatkan keuangan keluarga. Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa study tour tetap penting asalkan dirancang dengan baik dan memiliki tujuan edukasi yang jelas.
Selain larangan study tour, Dedi Mulyadi juga melarang sekolah menjual buku kepada siswa. Menurutnya, praktik ini sering kali dijadikan ajang komersialisasi oleh pihak-pihak tertentu, termasuk penerbit dan distributor buku. Padahal, seharusnya sekolah menjadi tempat yang netral dan tidak memaksakan kepentingan bisnis.
“Banyak orang tua mengeluh karena anak-anak mereka diwajibkan membeli buku tertentu yang harganya tidak murah. Ini jelas memberatkan, apalagi bagi keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah,” tegas Dedi.S
Ia menyarankan agar sekolah lebih memanfaatkan buku-buku yang sudah disediakan oleh pemerintah melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Selain itu, guru juga diharapkan dapat lebih kreatif dalam menggunakan sumber belajar yang sudah ada, tanpa harus bergantung pada buku-buku komersial.
Kebijakan Dedi Mulyadi ini menuai berbagai tanggapan dari masyarakat. Sebagian mendukung langkah ini karena dianggap dapat mengurangi beban finansial orang tua dan memfokuskan pendidikan pada hal-hal yang lebih esensial. Namun, tidak sedikit yang menilai bahwa larangan ini terlalu kaku dan justru menghilangkan kesempatan siswa untuk belajar secara lebih variatif.
“Study tour itu penting untuk membuka wawasan siswa. Asalkan tujuannya jelas dan biayanya terjangkau, seharusnya tidak perlu dilarang,” ujar seorang orang tua di Bandung.
Di sisi lain, praktisi pendidikan menyarankan agar kebijakan ini diikuti dengan solusi alternatif. Misalnya, sekolah bisa mengadakan kegiatan edukatif di dalam lingkungan sekolah atau bekerja sama dengan lembaga lain untuk menyediakan buku-buku berkualitas tanpa membebani orang tua.
Penulis: Salsa Fadilla Adini
Sumber: Liputan6.com